Istilah
atau sebutan Thibbun Nabawi sebenarnya tidak ada pada zaman Nabi
Muhammad Saw. Nabi sendiri tidak pernah membuat klasifikasi bahwa ini
termasuk Thibbun Nabawi dan itu bukan. Istilah Thibbun Nabawi
dimunculkan oleh para dokter muslim sekitar abad ke – 13 Masehi untuk
memudahkan klasifikasi ilmu kedokteran. Istilah Thibbun Nabawi dipakai
untuk menunjukkan ilmu-ilmu kedokteran yang berada dalam bingkai
keimanan kepada Allah Swt, serta bimbingan Al Qur’an dan As Sunnah, yang
dibedakan dengan ilmu-ilmu kedokteran yang tumbuh liar sehingga
bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah, seperti yang terjadi pada
zaman sebelum datangnya islam.
Kitab yang sering dipakai rujukan kaum muslimin adalah karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah (691-751 H / 1282-1372 M) yang berjudul Zadu ‘l-Ma’ad. Ibnul Qoyyim mengelompokkan hadits-hadits Nabi dan prilaku Nabi sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan dalam Zadu l-Ma’ad IV.
Inilah yang kemudian menjadi dasar bagi generasi setelah Ibnul Qoyyim
untuk menyebut ilmu kedokteran yang diterangkan dalam kitab itu dengan
istilah Thibbun Nabawi, Ibnul Qoyyim sendiri tidak memberi judul kitabnya
dengan Thibbun Nabawi, sebab hadits-hadits tentang Thibbun Nabawi itu
masih bagian dari Fiqih Islam, dan tidak berdiri sendiri.
Ibnul
Kholdun dalam Muqoddimahnya mengatakan bahwa kedokteran islam, yang
juga disebut Thibbun Nabawi atau kedokteran Nabi, muncul sebagai hasil
integrasi ilmu kedokteran Yunani, Persia, India, China, dan Mesir yang
kemudian dipadu dengan wahyu Nabi, sehingga terjaga dari kesyirikan
tahayul dan khurafat, serta dipenuhi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
Swt. Saat itu di Yunani sudah banyak teori tentang kedokteran. Sebagian
diantaranya dikoreksi oleh Al Qur’an seperti teori tentang reproduksi
manusia yang saat itu masih di luar jangkauan akal mereka dengan surat Al-Mukminun : 12-14, Al-Qiyamah : 37-39, Al-Infithor : 7-8, dan sebagian lainnya dibenarkan.
Di
China, Arab dan India pada saat itu sudah berkembang ilmu kedokteran
yang saat ini dikenal dengan ilmu kedokteran tradisional (traditional
medicine), namun dipenuhi dengan unsure syirik dan khurafat. Sebagian
diluruskan oleh Islam, seperti bekam dan kay Al Wasimy. Dari Persia Nabi
mengambil ilmu tentang farmasi, apotik, dan penggunaan obat dari
rumput-rumputan, benda-benda tambang, tumbuh-tumbuhan atau hewan, serta
harum-haruman (aromaterapi) dan bebatuan berkhasiat. Dari Mesir Nabi
mengambil ilmu tentang bedah, operasi, lasoh, siyasur, dan syifa’.
Pengobatan mata juga diambil dari Mesir yang sudah maju. Dari beberapa
kawasan tersebut, Nabi mengambil ilmu-ilmu kedokteran. Ilmu-ilmu yang
sesuai dengan ajaran Islam terus dikembangkan dan didukung dengan
beberapa hadits dan ayat-ayat Al Qur’an. Yang bertentangan dilarang,
yang salah dikoreksi dan yang lain dibiarkan saja.
Dalam
kitab Shahih Muslim dan Shohihu l-Bukhari terdapat bab khusus yang
membahas mengenai kedokteran modern (modern maksudnya adalah kedokteran
yang diakui dunia barat seperti yang terjadi saat ini). Dalam Shahih
Muslim banyak ditulis hadits-hadits tentang proses kejadian manusia
dalam rahim (embriologi dan kebidanan). Dalam Shohihu l-Bukhari saja
tercatat 80 hadits yang membicarakan tentang kedokteran modern,
embriologi, anatomi, fisiologi, patologi, dan lain-lainnya. Sehingga
para ulama mengatakan bahwa sebenarnya Imam Bukharilah yang merupakan
orang pertama yang menulis Thibbun Nabawi (Medicine of the Prophet atau Kedokteran Nabi).
Thibbun
nabawi sebenarnya merupakan perpaduan berbagai disiplin ilmu
kedokteran. Ilmu ini pula yang dikembangkan umat Islam ke seluruh dunia,
dari Arab ke Eropa dan ke seluruh negara-negara barat hingga abad
ke-17. Saat itu tidak ada pemisahan antara ilmu kedokteran modern dan
ilmu kedokteran tradisional. Baru pada abad ke-19, orang-orang Yahudi
dan Nasrani menghapuskan ilmu kedokteran yang bernilaikan Islam dan
berdasarkan wahyu Ilahi dari kurikulum-kurikulum sekolah mereka di
negara-negara Eropa. Mereka kemudian mengembangkan ilmu kedokteran yang
sudah terpisah dari nilai-nilai Islam tadi sehingga maju seperti
sekarang ini. Lalu mereka mengatakan bahwa ilmu kedokteran barat yang
maju itu milik mereka, dan itulah yang mereka sebut ilmu kedokteran yang
modern. Sedangkan yang lainnya, yang menurut mereka ketinggalan zaman,
yang penuh dengan nilai-nilai Islam, mereka sebut dengan ilmu kedokteran
tradisional, sebagai milik orang Islam. Padahal sekarang ini sudah
dibuktikan bahwa ilmu kedokteran yang mereka anggap tradisional itu
tidak ketinggal zaman, bahkan mampu menyelesaikan problema kesehatan
yang tidak dapat diatasi dengan kedokteran modern. Jadi sebenarnya
pembagian ilmu kedokteran antara modern dan tradisional itu merupakan
usaha-usaha orang Yahudi dan Nasrani untuk menjauhkan kaum muslimin dari
ilmu kedokteran yang bersumberkan Al Qur’an dan Al Hadits.
Sebagai
bukti bahwa kedokteran modern yang mereka anggap berasal dari Eropa
sebenarnya sudah dikembangkan oleh para sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ut
tabi’in dan generasi berikutnya adalah bahwa :
- Dalam Al Qur’an dan Al Hadits banyak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, baik kedokteran tradisional maupun kedokteran modern.
- Sebelum abad ke-18, belum ada buku tentang obat-obatan mata yang ditulis oleh orang-orang Eropa. Mereka mengambilnya dari buku-buku karangan orang Islam seperti Kitabu l-Asyroh Maqolat fi l ’Ain (Sepuluh Problema Mata), Al Masa’il fi l-‘Ain (Masalah-masalah tentang Mata), Al Masail fi th-Thib (Masalah-masalah pengobatan), yang ditulis oleh Hunain bin Ishaq Al-Ubbadi pada tahun 810-878 M.
- Pada zaman perang salib, para pasien Kristen, lebih suka mengambil dokter-dokter muslim daripada dokter-dokter Kristen. Ini karena pada saat itu orang Islam lebih pintar dan ahli dalam pengobatan. Tsabit bin Qurroh, seorang tabib, banyak mengobati tentara-tentara yang luka. Ia melihat sendiri bagaimana dokter-dokter Prancis mengobati dengan kejam hingga banyak yang gagal. Sehingga Raja Louis IX setelah selesai perang salib begitu tertarik dengan Rumah Sakit Nuruddin di Damaskus. Maka ia pun mendirikan sebuah rumah sakit yang bernama Les Quinze Vingt, yang sekarang menjadi rumah sakit mata terkenal di Eropa. Selain rumah sakit lainnya di Selarno dan Paris, di Bologna, dan Montpeller, berdiri pula rumah sakit dan fakultas kedokteran yang bersendikan Islam.
- Istilah-istilah bahasa Arab telah menduduki bagian penting dalam ilmu kedokteran. Sebagian dokter yang tinggal di Italia bagian utara telah menulis buku-buku mereka dengan tetap menuliskan istilah-istilah arabnya. Hal itu disebabkan mereka tertinggal dalam pengembangan ilmu kedokteran. Beberapa istilah seperti sirup dari syarab, tarter dari thorthir, tared dari thorohahu, alembic dari anbiq, alkohol dari alkuhul, alkali dari al-qoli, borax dari buroq, elixir dari al-iksir, dan lain-lainnya.
- Hingga tahun 1139 M, di Eropa masih banyak bentuk pengobatan yang dilakukan secara tahayul dan mengada-ada. Orang-orang bodoh mengaku sebagai dokter, mengobati orang hanya untuk memungut biaya, atau sengaja sebagai alat pesanan untuk melakukan pembunuhan. Para dukun melakukan praktek bersalin yang sangat terbelakang, dan masih banyak bermunculan pengobatan yang aneh-aneh.
Demikianlah,
para dokter muslim saat itu mengembangkan ilmu kedokteran Nabi secara
kaffah dan menyeluruh, tidak hanya yang tradisional, namun juga
kedokteran modern, serta tidak memisahkan antara keduanya. Kaum muslimin
juga meletakkan ilmu kedokteran
dengan nilai-nilai ilahiyah, dalam bingkai Al Qur’an dan Al Hadits,
sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dengan pesat hingga menembus
belajahan Eropa yang saat itu masih gelap gulita jauh dari cahaya ilmu
pengetahuan.
Penulis
ilmu kedokteran Nabi yang pertama adalah ‘Ali bin Sahl bin Robban
Ath-Thobari (sekitar tahun 785-861 M). Dia tabib yang menyatukan dan
memadukan ilmu kedokteran Yunani, Mesir, Persia dan India. Salah satu
bukunya berjudul Manafi’u l-Ath’immah (Manfaat Makanan). Ia
menulis lebih dari 360 judul buku kedokteran. Muridnya adalah Abu Bakar
Ar-Rozi (854-932 M) yang terkenal di Eropa sebagai dokter paling besar
di abad pertengahan. Bukunya yang terkenal berjudul Al-Hawi yang oleh
Raja Charles I tahun 1279 diterjemahkan dengan bahasa latin dengan judul
Liber Continens, lalu dialihkan dengan bahasa Inggris dengan judul The
Book of Continens yang dijadikan buku pegangan dokter di seluruh Eropa
pada saat itu. Bukunya yang lain berjudul Thibbu l-Athfal (Ilmu
Kedokteran Anak), Mukhtashor fi l-Laban (Ringkasan tentang Air Susu),
dan Al-Judari wa l-Hisbah (Small Pox and Measles, atau cacar dan campak.
Sedangkan Al-Biruni (961-1048 M) menulis buku besar berjudul Kitabu
sh-Shoidanah fi th-Thibb (buku tentang batu-batuan perak yang berkhasiat
dalam pengobatan). Ibnu Sina (980-1037 M) yang oleh orang barat
kepandaiannya dianggap sejajar dengan Aristoteles, telah menulis buku
yang terbaik Al Qonun fi th-Thibb (Canon of Medicine). Buku ini dianggap
sejajar dengan Injil di Eropa. Sedangkan Az-Zahrowi (936-1013 M)
dianggap sebagai bapak ilmu bedah karena bukunya At-Tashrif. Az-Zahrowi
ini menjadi guru para dokter bedah di Eropa selama lima abad. Ilmu
kedokteran jiwa dikembangkan oleh Ibnu Maimun (1134-1204 M). Pengobatan
dengan herba dikembangkan oleh Ibnu Al-Baithar (1197-1240 M) dengan
bukunya Al-Jami’ li Mufrodati l-Adawiyah wa l-Aghdiyah, yang berisikan
daftar tanaman obat yang berkhasiat untuk penyembuhan. Kahin Al-Aththor
(1360 M) dikenal sebagai ahli farmasi dengan bukunya Management of The Drug Store, Minhaju ‘d-Dukkan wa Dusturu ‘l-A’yan fi A’mal wa Tarrokibi ‘l-Adwiyati ‘n-Nafi’ah li ‘l-Abdan, dan masih banyak dokter muslim lainnya yang namanya mengharumkan dunia kedokteran saat ini.
Ilmu
kedokteran harus dikembangkan oleh orang-orang Islam, mulai Tsabit bin
Qurroh (836-901 M), Yuhana bin Masawaih (857 M), Ishaq Yuda (855-955 M),
Ibnu Zuhr (1073-1162 M), Ibnu Al-Khatib (1313-1374 M), Al-Quff
(1222-1286 M), dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah yang menulis buku Al-Jawabu ‘l-Kafi Liman Sa’ala ‘ani ‘d-Dawa’I sy-Syafi
(Jawaban Lengkap tentang Obat-obat Mujarab), Zadul Ma’ad fi Hadyi
Khoiri ‘l-‘Ibad, Thibbun Nabawi, dan buku-buku lainnya. Ia menuliskan
buku kedokteran dengan cabang-cabangnya, seperti biologi, embriologi,
anatomi, patologi dan fisiologi. Ilmu kedokteran ini terus dikembangkan
lagi hingga menembus Byzantium, Yunde-Shahpur, Iskandaria, Damaskus, Baghdad, Qordoba, Granada, Sicilia, Itali, Prancis dan Jerman.
Karena
kegigihan dokter-dokter muslim dalam mengembangkan ilmu kedokteran,
maka akhirnya kedokteran Islam menguasai dunia, hingga akhirnya seiring
dengan kekalahan umat Islam, musuh-musuh Islam di negara-negara Eropa
mulai memisahkan kedokteran yang berdasarkan nilai-nilai ilahi, dan
membuangnya dengan kurikulum kedokteran mereka, hingga akhirnya orang
muslim tidak mengetahui bahwa sebenarnya ilmu kedokteran Nabi itu tidak
hanya yang tradisional, namun juga yang modern yang mereka klaim sebagai
milik mereka. Mereka juga menghapus nama dokter-dokter dari literature
mereka, dan memunculkan dokter-dokter dari kalangan mereka sendiri yang
sebenarnya juga mengambil ilmu kedokteran dari dokter-dokter muslim.
Memang inilah tujuan mereka untuk menjauhkan kaum muslimin dari
penguasaan teknologi kedokteran, yang apabila dikuasai orang Islam, maka
kaum muslimin pasti akan kembali menguasai dunia.
Sumber : Asy-Syifa’ min Wahyi Khotami l-Anbiya’ (Aiman bin ‘Abdul Fattah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar