Minggu, 20 Juli 2014

MENJAGA KESTABILAN BATHIN

Tubuh manusia hanyalah sebagai wadah sedangkan isinya adalah bathin. Setiap gerakan tubuh adalah implementasi dari bathin. Kondisi tubuh yang sehat maupun dalam keadaan sakit sangat dipengaruhi oleh keadaan bathin. Disinilah pentingnya kita menjaga kondisi bathin.

Sebagian ahli berpendapat bahwa penyembuhan penyakit itu yang didahulukan adalah penyembuhan kondisi bathinnya. Bathin atau jiwa yang stabil akan mampu memberikan stimulus dan energi penyembuhan fisik. Sebaliknya, jika kondisi jiwa rapuh, maka fisik yang semula sehat juga akan menjadi rapuh.

Jika seseoarang mempunyai jiwa yang tegar dan semangat tinggi, maka penyakitnya akan mudah dapat disembuhkan. Kekuatan bathin (jiwa) seperti inilah yang sangat dibutuhkan dalam setiap terapi penyembuhan. Oleh sebab itu menjaga kestabilan jiwa itu sangat utama agar dapat mengendalikan pikiran positif dan mengontrol emosi. Seseorang yang mempunyai kondisi bathin sehat (terbebas dari penyakit hati), maka ia dapat dengan mudah mengendalikan konflik dalam dirinya sendiri. Konflik yang terjadi dalam diri sendiri (konflik bathin) dapat mempengaruhi keseimbangan tubuh. Maka keadaan jiwa yang damai mengantarkan seseorang menjadi bahagia, sehat jasmani dan rohani. Keadaan jiwa yang bahagia dapat mengurangi tingkat stress. Jika seseorang dapat mengendalikan stress, maka daya pertahanan tubuhnya menjadi kuat.

Jiwa yang stabil membuat seseorang jadi sabar. Sedangkan jiwa yang labil, membuat seseorang tidak sabar. Orang yang tidak sabar biasanya suka mengeluh. Merasa penyakit yang dideritanya sangat menyiksa. Hatinya kering dari pengharapan atas kesembuhan penderitaannya. Hidup terasa sangat menyiksa. Ia menjadi tidak sabar dan ingin segera terbebas dari kenyataan buruk itu. Akhirnya jiwanya jadi putus asa. Sesuatu yang sebenarnya ringan jadi berat. Cobaan hidup yang merupakan sebagai ujian dianggap adzab dari Allah yang dinilainya sangat kejam. Oleh karena itu hendaknya kita belajar melatih diri untuk menjaga kestabilan jiwa (bathin).

Setiap manusia mempunyai kondisi bathin naik-turun. Inilah yang disebut tabiat. Adanya tabiat, karena munculnya pengaruh internal dan eksternal.

Suasana hati terkadang terpengaruh oleh daya tahan fisik dan mental. Jika kita membiarkan hati terlalu hanyut dalam kecemasan, maka diri ini akan terpengaruh oleh pikiran dan emosi negatif. Dengan demikian, seluruh persepsi kita tentang kehidupan ini negatif pula. Hal demikian ini membuat kita jadi gamang dalam menentukan langkah menuju kebahagiaan hidup.

Bathin itu seperti cermin, meskipun bayangan yang dipantulkan selalu berubah-ubah, permukaannya tetap tidak berubah. Lingkungan sekitar kita boleh berubah, tetapi jagalah agar bathin tak pernah berubah. Karena bila bathin terus menerus berpaling dan mengikuti pengaruh negatif dari luar, maka ia mudah menjadi goyah. Padahal kekuatan bathin itu mampu mengalahkan setiap gangguan bahaya maupun gangguan penyakit.

Menurut Imam Abdullah al-Haddad, hati adalah tempat penglihatan Allah. Sebelum melihat yang lain, Allah melihat hati seseorang terlebih dahulu. Anggota lahir badan kita menjadi tempat perhatian sesame makhluk yang seringkali dilihat dengan pandangan kekaguman (padahal apa yang mereka lihat belum tentu mencerminkan isi hatinya). Karenanya Rasulullah selalu berdoa, “Ya Allah, jadikanlah keadaan bathinku lebih baik dari keadaan lahirku dan jadikanlah keadaan lahirku baik”.

Inilah salah satu doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi kepada Allah. Di dalamnya terkandung permintaan agar Allah menjadikan suasana hati lebih bagus ketimbang keadaan lahir. Mengapa Nabi menitik beratkan pada bathin atau hati? Dalam sebuah hadits beliau bersabda :
“Di dalam jasad ad sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jia ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR. Bukhari-Muslim).

Hati adalah sentral, ia adalah penggerak, raja, poros, dan pusat segala ibadah. Hati yang thuma’ninah (tenang) akan dapat membuat orang ringan bangun tidur di malam hari, membaca Al-Qur’an, datang ke masjid, dan semua amal shalih lainnya. Hati bisa mengajak kepada kebaikan, di saat yang sama juga bisa mengajak kepada kejahatan.

Sebagian orang beranggapan bahwa melakukan maksiat tidak menjadi masalah asal hati kita baik. Anggapan dan keyakinan seperti ini jelas tidak benar. Menurut Imam Abdullah, orang yang berpendirian seperti ini adalah pendusta besar. Lahir dan bathin haruslah seimbang dan sama-sama baik. Ibarat makanan, ia akan diminati orang jika isi dan bungkusnya baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar