Tubuh manusia hanyalah sebagai wadah
sedangkan isinya adalah bathin. Setiap gerakan tubuh adalah implementasi dari
bathin. Kondisi tubuh yang sehat maupun dalam keadaan sakit sangat dipengaruhi
oleh keadaan bathin. Disinilah pentingnya kita menjaga kondisi bathin.
Sebagian ahli berpendapat bahwa
penyembuhan penyakit itu yang didahulukan adalah penyembuhan kondisi bathinnya.
Bathin atau jiwa yang stabil akan mampu memberikan stimulus dan energi penyembuhan
fisik. Sebaliknya, jika kondisi jiwa rapuh, maka fisik yang semula sehat juga
akan menjadi rapuh.
Jika seseoarang mempunyai jiwa yang
tegar dan semangat tinggi, maka penyakitnya akan mudah dapat disembuhkan. Kekuatan
bathin (jiwa) seperti inilah yang sangat dibutuhkan dalam setiap terapi
penyembuhan. Oleh sebab itu menjaga kestabilan jiwa itu sangat utama agar dapat
mengendalikan pikiran positif dan mengontrol emosi. Seseorang yang mempunyai
kondisi bathin sehat (terbebas dari penyakit hati), maka ia dapat dengan mudah
mengendalikan konflik dalam dirinya sendiri. Konflik yang terjadi dalam diri
sendiri (konflik bathin) dapat mempengaruhi keseimbangan tubuh. Maka keadaan
jiwa yang damai mengantarkan seseorang menjadi bahagia, sehat jasmani dan
rohani. Keadaan jiwa yang bahagia dapat mengurangi tingkat stress. Jika seseorang
dapat mengendalikan stress, maka daya pertahanan tubuhnya menjadi kuat.
Jiwa yang stabil membuat seseorang
jadi sabar. Sedangkan jiwa yang labil, membuat seseorang tidak sabar. Orang yang
tidak sabar biasanya suka mengeluh. Merasa penyakit yang dideritanya sangat
menyiksa. Hatinya kering dari pengharapan atas kesembuhan penderitaannya. Hidup
terasa sangat menyiksa. Ia menjadi tidak sabar dan ingin segera terbebas dari
kenyataan buruk itu. Akhirnya jiwanya jadi putus asa. Sesuatu yang sebenarnya
ringan jadi berat. Cobaan hidup yang merupakan sebagai ujian dianggap adzab
dari Allah yang dinilainya sangat kejam. Oleh karena itu hendaknya kita belajar
melatih diri untuk menjaga kestabilan jiwa (bathin).
Setiap manusia mempunyai kondisi
bathin naik-turun. Inilah yang disebut tabiat. Adanya tabiat, karena munculnya
pengaruh internal dan eksternal.
Suasana hati terkadang terpengaruh
oleh daya tahan fisik dan mental. Jika kita membiarkan hati terlalu hanyut
dalam kecemasan, maka diri ini akan terpengaruh oleh pikiran dan emosi negatif.
Dengan demikian, seluruh persepsi kita tentang kehidupan ini negatif pula. Hal demikian
ini membuat kita jadi gamang dalam menentukan langkah menuju kebahagiaan hidup.
Bathin itu seperti cermin, meskipun
bayangan yang dipantulkan selalu berubah-ubah, permukaannya tetap tidak
berubah. Lingkungan sekitar kita boleh berubah, tetapi jagalah agar bathin tak
pernah berubah. Karena bila bathin terus menerus berpaling dan mengikuti
pengaruh negatif dari luar, maka ia mudah menjadi goyah. Padahal kekuatan
bathin itu mampu mengalahkan setiap gangguan bahaya maupun gangguan penyakit.
Menurut Imam Abdullah al-Haddad, hati
adalah tempat penglihatan Allah. Sebelum melihat yang lain, Allah melihat hati
seseorang terlebih dahulu. Anggota lahir badan kita menjadi tempat perhatian sesame
makhluk yang seringkali dilihat dengan pandangan kekaguman (padahal apa yang
mereka lihat belum tentu mencerminkan isi hatinya). Karenanya Rasulullah selalu
berdoa, “Ya Allah, jadikanlah keadaan bathinku lebih baik dari keadaan lahirku
dan jadikanlah keadaan lahirku baik”.
Inilah salah satu doa yang sering
dipanjatkan oleh Nabi kepada Allah. Di dalamnya terkandung permintaan agar
Allah menjadikan suasana hati lebih bagus ketimbang keadaan lahir. Mengapa Nabi
menitik beratkan pada bathin atau hati? Dalam sebuah hadits beliau bersabda :
“Di dalam jasad ad sekerat daging jika
ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jia ia rusak maka rusaklah seluruh
jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR.
Bukhari-Muslim).
Hati adalah sentral, ia adalah
penggerak, raja, poros, dan pusat segala ibadah. Hati yang thuma’ninah (tenang)
akan dapat membuat orang ringan bangun tidur di malam hari, membaca Al-Qur’an,
datang ke masjid, dan semua amal shalih lainnya. Hati bisa mengajak kepada
kebaikan, di saat yang sama juga bisa mengajak kepada kejahatan.
Sebagian orang beranggapan bahwa
melakukan maksiat tidak menjadi masalah asal hati kita baik. Anggapan dan
keyakinan seperti ini jelas tidak benar. Menurut Imam Abdullah, orang yang
berpendirian seperti ini adalah pendusta besar. Lahir dan bathin haruslah
seimbang dan sama-sama baik. Ibarat makanan, ia akan diminati orang jika isi
dan bungkusnya baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar